Selamat Datang di Website resmi Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kabupaten Pati. Silakan tinggalkan kritik dan sarannya di buku tamu. Terima kasih! Nuun, walqolami wamaa yasthurun....

Jumat, 04 November 2011

Tradisi Keilmuan IPM: Manifestasi Generasi Ulul Albab

Islam sebagai ajaran dan sejarah peradaban sungguh kaya dengan etos atau tradisi keilmuan. Islam bahkan dapat dikatakan sebagai agama kemajuan (din al-hadarah), yang mampu mengubah daerah Yastrib yang pedesaan menjadi kota peradaban (Madinah al-Munawwarah). Ayat Al-Quran yang pertama diturunkan dan merupakan titik awal kerisalahan Nabi Muhammad justru tentang “iqra”, yang mengandung pesan sekaligus perintah imperatif kegiatan keilmuan.
Islam memerintahkan atau mengajak orang beriman untuk berpikir dan mencari ilmu, menjunjungtinggi ilmu pengetahuan, mengangkat kaum berilmu ke derajat tertinggi. Kegiatan iqra bukan hanya diperintahkan Tuhan baik dalam logika naratif (kisah) dan retorik (nadhar) maupun imperatif (iqra‘), bahkan dengan tegas Allah menyatakan bahwa mereka yang tidak mau menggunakan akal pikirannya laksana binatang melata (dawâb) di muka bumi ini (QS Al-Anfal [8]: 22). 

Islam hadir menjadi agama yang mencerahkan kehidupan. Agama yang melakukan lintas gerak peradaban ”lituhrijâ al-nâs min al-dhulumât ila al-nûr”, yang membebaskan manusia dari ”kegelapan” (kejahiliyahan) kepada ”cahaya” (kebenaran, al-Islam). Karena tradisi pencerahan (tanwir) itulah maka Islam berhasil menjadi kekuatan dunia di kala Barat kala itu tengah tertidur lelap dalam kegelapan peradaban. Era kejayaan Islam yang agung itu dikatakan sebagai the renaissance of Islam, yakni masa pencerahan Islam. Para ahli lain menyebutnya sebagai the golden age atau Abad Keemasan Islam. Pada era itu lahir kebangkitan intelektual dan kultural Islam yang sepektakuler. Terjadi revolusi pemikiran dan budaya Islam yang bercorak peradaban baru (the new civilization). Islam telah menjadi peradaban baru, bukan saja menyambung matarantai peradaban sebelumnya seperti tradisi intelektual Yunani, Babylon/Kaldea, dan Persia tetapi juga menampilkan corak baru yang khas Islam. Kala itu Islam sungguh-sungguh hadir menjadi agama sekaligus peradaban profetik yang kosmopolit, humanistik, kultural, dan saintifik yang memperoleh puncaknya pada era ‘Abasiyyah itu hingga Islam.
Karena itu jika ingin mengukir kejayaan Islam kembali, salah satu pilarnya ialah membangkitkan kembali etos dan budaya keilmuan disertai pengembangan teknologi yang unggul. Tentu saja basisnya ialah dasar iman dan moral yang kokoh, yang bersumber pada tauhid sebagai bingkai fundamental dari rancang-bangun peradaban Islam. Di sinilah pentingnya membangkitkan kembali etos dan generasi ulul albab di kalangan pelajar muslim, yakni suatu genre kaum muslimin yang memiliki ciri-ciri manusia yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan mendalam ilmunya (QS Ali Imran/3: 7); berfikir sekaligus berdzikir (QS Ali Imran/3: 190-191), mengembangkan nalar kritis (QS Az-Zumar/39: 18), memisahkan al-haq dengan al-bathil atau kebenaran dari kebathilan (QS Al-Maidah/5: 100), menyampaikan ilmu dan mengembangkan hubungan kemanusiaan yang baik dengan sesama (QS Ar-Ra’du/13: 22), bertaqwa kepada Allah dengan iman dan ilmunya (QS Albaqarah/2: 197), dan lain-lain sebagaimana sosok ulul albab. Generasi ulul albab adalah sosok cendekiawan atau intelektual muslim yang di dalam dirinya terintegrasi kekuatan iman, ilmu, dan amal yang bersifat profetik sekaligus transformasional untuk tampil sebagai pembawa misi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di zaman modern abad ke-21 ini.
Bagaimana dengan IPM? IPM yang menegaskan dirinya sebagai Gerakan Pelajar, yang mengemban misi utama dakwah sebagai ruh perjuangannya, dan kelahirannya di negeri ini untuk sebuah cita-cita besar yang dirumuskan oleh Muhammadiyah yakni terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (peradaban utama). IPM memiliki kewajiban untuk berada di garda depan dalam meretas kebangkitan Islam yang penuh tantangan itu. Karena salah satu pilar penting bagi kebangkitan Islam itu ialah keilmuan Islam, maka IPM yang memiliki basis pelajar memiliki tanggungjawab penting bagaimana berada di barisan depan dalam mengusung gerakan keilmuan dalam membangun masa depan Islam dan umat Islam saat ini. IPM dengan predikatnya sebagai gerakan pelajar yang memiliki hak dan kewajiban mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya, bahkan boleh dikatakan memiliki kewajiban paling utama untuk menjadi pelopor dan penggerak kebangkitan keilmuan di tubuh umat Islam, termasuk di dalam dirinya sendiri dengan menghidupkan tradisi keilmuan.
Tradisi keilmuan merupakan alam pikiran dan kegiatan berpikir kritis dalam mewacanakan dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mendasar yang tumbuh dan terbentuk dalam dinamika sosiologis kehidupan umat Islam, termasuk dalam Muhammadiyah. Tradisi keilmuan dalam IPM harus mewarisi api yang dibawa oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan bukan abu, namun api pembaharuan (semangat keilmuan). Kendati oleh sebagian ahli Kyai Dahlan lebih dikenal sebagai pembaru dengan karakter “man of action” (intelektual-organik) karena tekanannya pada amaliah Islam, namun jauh di lubuk jiwa dan pikirannya pendiri Muhammadiyah ini menggelorakan spirit keilmuan Islam sebagaimana pada umumnya pembaru.
IPM memiliki tiga paradigma yang menjadi landasan berpikir, yakni: keilmuan, kritis terbuka, hati suci/transenden) , artinya IPM bukan hanya memelopori nalar kritis dalam gerakan keilmuan pelajar,, tetapi juga kesediaan untuk selalu membuka pikiran yang datang dari luar sekaligus membuka dialog dengan siapapun yang dipandang berbeda dengan pemikirannya, namun dilandasi dengan hati suci yakni aqidah yang kokoh. Seperti halya KHA Dahlan itu selain gemar berdiskusi dengan elite dari Boedi Oetomo dan Syarikat Islam yang dirinya terlibat di dalamnya, juga dengan pihak lain yang dianggap berbeda seperti dengan Semaun dan kalangan pendeta. Dalam catatan Jainuri, Kyai Dahlan bahkan pernah menganjurkan agar kajian tentang agama Kristen diadakan di lingkungan masjid-masjid kaum muslimin. Dalam rekam pikiran yang ditulis Kyai Hadjid (edisi baru 2005: 20-21), bahwa Kyai Dahlan pernah menyatakan sebagai berikut:
“Orang yang mencari barang yang hak kebenaran itu perumpamaannya demikian: “Seumpama ada pertemuan antara orang Islam dan orang Kristen, yang beragama Islam membawa Kitab Suci Al-Qur’an dan yang beragama Kristen membawa Kitab Bybel (Perjanjian Lama dan Baru), kemudian kedua kitab suci itu diletakkan di atas meja. Kemudian kedua orang tadi mengosongkan hatinya kembali kosong sebagaimana asal manusia tidak berkeyakinan apapun. Seterusnya bersama-sama mencari kebenaran, mencari tanda bukti yang menunjukkan kebenaran. Demikianlah kalau memang semua itu membutuhkan kebenaran. Akan tetapi sebagian besar dari manusia hanya menurut anggapannya saja, diputuskannya sendiri. Mana kebiasaan yang dimilikinya dianggap benar dan menolak mentah-mentah terhadap lainnya yang bertentangan dengan miliknya.”
Kyai Dahlan sebagaimana dituturkan Kyai Hadjid (lo.cit) dalam pengembangan pemikiran kritisnya itu merujuk pada Al-Quran Surat Luqman (ayat ke-21) tentang sikap taklid mengikuti jejak orang-orang terdahulu, Surat Az-Zumar (ayat ke-17 dan ke-18) tentang sikap kritis ulul-albab, dan pernyataan Muhammad Abduh yang menyatakan: “Kebanyakan manusia, mula-mula sudah mempunyai pendirian, setelah itu baru mencari dalil dan tidak mau mencari dalil selain yang sudah cocok dengan keyakinannya dan jarang sekali mereka mencari dalil untuk dipakai dan diyakinkan”, serta pernyataan “manusia itu benci kepada yang tidak diketahuinya”. Dari langkah itulah kemudian IPM harus mengembangkan budaya keilmuan, selain budaya amaliahnya, melalui membaca dalam arti luas tidak hanya mampu membaca buku-buku dan teks, namun membaca huruf-huruf yang aktif dan dinamis yang senantiasa berubah, yaitu membaca symbol-simbol zaman. IPM harus mampu menjadikan al-Qur’an sebagai al-Syifa’ (obat), artinya sebagai solusi persoalan pelajar dengan cara mendialogkan pesan-pesan (nilai-nilai) ada dalam al-Qur’an sesuai dengan (zaman wa makan) dengan masalah-masalah yang terjadi pada zaman sekarangyang.
Pertanyaan terahir ialan, mengapa Islam yang semula disebut dengan “AD-DIIN” dapat beruba menjadi peradaban raksasa dunia? Jawabannya ialah, karena ajaran Islam yang termuat dalam wujud al-Qur’an berhasil dijabarkan dan dialogkan dalam wujud pembangunan peradaban yang ditopang dengan pengembangan ilmu pengetahuan ditengah-tengan umat Islam pada zamannya. Bagaimana IPM mampu? IPM mampu memgawal ini semua dengan memulai menghidupkan tradisi keilmuan para pelajar, dan elit kader yang menjadi pimpinan. IPM juga harus menjadikan al_qur’an sebagai sumber ilmu, sehingga tidak ada sekulerisasi ilmu atau dekotomi ilmu pengetahuan. Semua ilmu adalah berasal dari Allah SWT. Al-Qur’an pun menyatakan bahwa orang mukmin secara benar dan orang berhasil mengajarkan ilmu pengetahuan (ilmu gabungan antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”) akan ditinggikan derajatnya. Sehingga dalam IPM sebagai organisasi pelajar Islam, antara Iman dan Ilmu pengetahuan itu sangat terkait.
Bagaimana membangkitkan tradisi keilmuan? IPM harus mendaya gunakan akal dengan semaksimal mungkin sebagai anugrah sang Ilahi-Robby. Akal yang kita miliki adalah sebuah potensi yang kalau disentuhkan dengan otak akan menyebabkan energy berpikir dan kalau bersentuhan dengan hati akan membuahkan energy spiritual yang sering disebut dengan hidayah. Akal ini, harus secara terus menerus diaktualisasi baik kemampuan fikr maupun dzikr. Karena itu kesehatan akal sangat perlu untuk dijaga, agar akal mampu secara terus-menerus menghasilkan energy berpikir dan berdzikir. Kalau akalnya macet atau rusak maka macet pula energy berpikir dan berdzikir seseorang. Objek berpikir manusia ada dua yakni ayat kauniyah dan kauliyah. Yang bersifat kauliyah utamanya ialah teks-teks ayat-ayat dalam al-Qur’an dan yang diperjelas oleh al-Sunnah. Sedangkan yang bersifat kauniyah ialah berupa alam semesta dengan segala isinya, yang merupakan “buku terbuka” yang memuat rahasia-rahasia alam yang mampu menghasilkan teory, rumus, aksioma, postulat, dalail dan semacamnya. 
Bagi IPM, sebagai gerakan pelajar dengan semangat dakwah, harus benar-benar yakin terhadap al-Qur’an dan menjadikannya sebagai sumber ilmu. Al-Qur’an harus menjadi inspirator penggalian ilmu pengetahuan, dapat dijadikan sumber konsep ilmu pengetahuan, dan sekaligus menjadi factor yang mewarnai berupa nilai “baik”, “benar”, “indah” dan “bermanfaat”. IPM harus mengambil bagian dalam hal ini, sehingga mampu melakukan amal shalih yang berdampak besar pada diri sendiri dan lingkungannya. Semoga para elite dan kader IPM saat ini mampu menangkap spirit kelahiran Muhammadiyah yang membawa obor pembaruan Islam yang mencerahkan itu dengan tradisi keilmuan. Dengan demikian tradisi keilmuan pun akan lahir dari rahim gerakan yang berjiwa pembaruan itu tanpa harus merasa canggung dan seolah menjadi genre sempalan. Bersamaan dengan memperkaya basis iman dan akkhlak yang kokoh serta bersifat transformasional, IPM secara niscaya dituntut untuk merawat dan mengembangkan tradisi keilmuanlnya yang selama ini telah diletakkan fondasinya oleh Kyai Dahlan. Di tengah zaman yang penuh kontradiksi saat ini, dengan tetap tampil cerdas, rendah hati, kaya ilmu, dan memiliki pijakan yang kokoh dalam bingkai ajaran Islam yang serba melintasi, IPM sungguh dinanti peran kesejarahannya mengawal Muhammadiyah untuk menghadirkan Islam sebagai risalah rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini. AMIN.

Penulis: Zaky Elfikry (Kader PW IPM Jatim, Mahasiswa UM Surakarta)

0 komentar:

Posting Komentar